Tak ada yang mereka pikirkan selain, “Yuk ahh…” Mereka pun terkumpul, lalu menyatu untuk kemudian bergerak bersama. Tak ada yang mereka punya selain: beban berat kian ringan terasa bila dipikul bersama. Merekalah yang datang memenuhi panggilan hati. Tak dijanjikan sesuatu, namun memberikan yang maksimal. Kampus menyatukan mereka di Tim Trauma Healing Shalom IAKN Tarutung.
Saat suhul terjadi 1 Oktober dini hari silam, mereka sedang terlelap dibuai malam. Listrik padam. Tak lama kemudian hujan turun. Tidak semua mereka langsung bisa mengup-update status karena sebagain sinyal internet pun terputus mengikuti listrik yang padam. Justru karena tak ada update status itulah yang membuat orangtua mereka gerasak-gerusuk. “Aku baru bisa menghubungi orangtuaku siang harinya,” ujar seorang dari mereka.
Apakah mereka trauma? Bisa jadi demikian. Bila trauma membuat jantung berdetak kencang mendengar bebunyian pascagempa, maka itulah dia. Demikianlah halnya. Bahkan setelah tiga hari pascagempa, mereka masih tidur di luar. Tidak di dalam rumah. Ada yang ikut tidur di tenda, namun tak sedikit yang tidur di teras rumah dengan membawa bantal dan selimut saja. Beberapa dari mereka merasa perutnya terguncang kuat sehingga muntah. Kepala menjadi pusing. Kaki gemetar bahkan setelah gempa berlalu beberapa jam. Artinya: mereka adalah korban gempa.
Seakan sudah ditakdirkan: bencana akan memunculkan sisi terbaik manusia. Seakan pula sudah dibuatkan pijakan: bencana pula membangkitkan semangat bersolidaritas.
Pagi hari. Senin, 10 Oktober 2022. Tim Trauma Healing Shalom IAKN Tarutung dibentuk. Dan di pagi hari itu juga rapat perdana dilangsungkan. Sangat mendadak. Semua berangkat dari keterbatasan, terlebih-lebih materi. Namun tidak dengan semangat: kerjakan saja dulu, jalan akan terbuka dengan sendirinya. Dalam waktu beberapa jam saja donasi sudah terkumpul. Pukul 14:00 Tim sudah berada di Desa Sisordak, Hutatinggi.
Hari kedua berjalan lebih baik. Begitu juga hari ketiga. Apa yang membuat itu demikian?
Tim Trauma Healing, justru, berada dalam ruang trauma itu sendiri. Tidak ada seorang pun di dalam tim yang tidak merasakan dahsyatnya gempa mengguncang. Semua anggota tim histeris di pagi hari itu. Barangkali karena semua civitas akademika terdampak gempa itulah yang membuat kampus lebih memfokuskan bersolidaritas ke dalam terlebih dahulu. Artinya: sekitar tiga ribu mahasiswa IAKN Tarutung perlu mendapat perhatian. Dan memang terlihat jelas titik-titik trauma itu di sudut-sudut kampus dan di lingkungan sekitar kampus tempat mahasiswa indekos.
Begitulah. “Mereka” di paragraf pertama itu adalah mahasiswa IAKN Tarutung yang ikut di Tim Trauma Healing. Mereka dipanggil melampai fakultas, melampaui prodi. Mereka datang hanya dengan membaca ajakan sederhana: Kampus memanggilmu menjadi relawan.
Apa yang mereka temui di lapangan? Mereka menemukan diri mereka tertanam di dalam diri anak-anak yang mereka temani bernyanyi, mereka ajak bercerita, mereka lihat menggambar, mereka lihat air mata mengalir. Mereka menemukan diri mereka terselip di setiap hentakan kaki ceriah anak-anak. Mereka menemukan diri mereka terpacak di semangat orangtua menemani anaknya sepanjang kegiatan healing. Mereka menemukan diri mereka melekat di senyum lepas anak-anak. Di dalam diri anak-anak terpancar kesederhanaan. Kesederhanaan yang menyimpulkan kompleksitas kehidupan. Kesederhanaan yang justru metode paling ampuh menghilangkan trauma. Mereka menemukan semua itu. Kesederhanaan yang berhasil memanggil kembali “diri” setiap anggota Tim.
Pelajaran apa yang mereka petik dari lapangan? Kisah-kisah unik justru membuat Tim mampu merehatkan penat sejenak.
Di hari ketiga, kisah ini terjadi. Tiga puluh anak menunggu dengan sabar di pekarang Gereja Katolik St. Ambrosius Aek Raja. Teman-teman mereka sudah pulang. Mereka masih bertahan karena snack yang dibawa Tim tidak mencukupi. Mereka bertigapuluh tidak mendapat snack. Kepala Desa Aek Raja memberitahu Tim, jumlah anak-anak yang akan ikut trauma healing sebanyak 300 orang. Ternyata yang hadir: 350 0rang. Tim hanya menyediakan 320 bungkus snack. Lalu, seorang orangtua mereka berinisiatif membantu Tim membelikan snack tambahan. Sepuluh menit berlalu Ibu itu belum juga datang. Anak-anak masih setia menunggu sembari duduk. Namun, beberapa dari mereka mulai menangis. Mereka takut tidak kebagian snack. Mahasiswa berinisiatif mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak mereka bernyanyi. Yang menangis tetap menangis, namun juga ikut bernyanyi.
Perjalanan Tim Trauma Healing masih tersisa empat hari lagi. Empat hari menjelang akan menjadi hari-hari yang mendatangkan lelah, namun menciptakan pesona. Sejauh ini Tim sudah tiba pada pengertian: perkara membantu bukan persoalan materi, alih-alih perihal memunculkan kesederhanaan yang sudah lama tercerabut oleh hiruk-pikuk perjalanan hidup. Semua anggota Tim belajar: bencana kali ini mengingatkan setiap orang untuk tidak terlalu jauh meninggalkan rumah, RUMAH KEBAIKAN.