Bagaimana moderasi beragama dipraktekkan? Apa wadah untuk mengakutalisasikannya di lapangan?
Tak mudah mengartikan moderasi beragama. Namun, tak sulit menemukan praktiknya di lapangan. Moderasi beragama bertulangpunggungkan toleransi. Toleransi yang dipraktekkan akan tampak, meminta istilah Mohammad Hata, seperti garam. Garam itu terasa tapi tak terlihat. Mohammad Hatta mengkontraskannya dengan gincu. Gincu itu terlihat tapi jelas tak ada rasa. Dengan demikian, yang terasa tapi tak tampak itu menggambarkan betapa praktek-praktek yang sudah dilakukan di dalam masyarakat sudah membaur sedemikian rupa sehingga menjadi bagian yang tak perlu ditampakkan. Ketampakan toleransi itu terwujud dalam praktek alamiah keberagamaan. Itulah rasa toleransi.
Moderasi beragama harus dengan sangat tegas diartikan sebagai praktek yang menganggap agama-agama pada dasarnya tidak sama. Karena itu moderasi beragama adalah sarana untuk menjawab realitas masyarakat kita yang plural. Moderasi beragama dan toleransi pun terikat sempurna dengan pluralisme. Atau boleh dikata, ketiga-tiganya saling bertukar, atau bahkan satu-kesatuan yang hanya beda dalam penyebutan saja. Benang merah di antara ketiganya terletak pada paham bahwa pluralisme-moderasi beragama-toleransi bertitik tolak dari perbedaan itu sendiri. Insan toleran adalah mereka yang mengakui perbedaan. Dengan kata lain, tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan.
Penggambaran ini tampak pada aktivitas ibu-ibu Kelompok Sehati hari ini, Kamis, 13 Juli 2023. Jumlah mereka 20 orang—10 orang Islam dan 10 orang Kristen. Minggu lalu mereka bersepakat membentuk dan menamai organisasi mereka demikian. Di Desa Lumbanratus, Tarutung, Tapanuli Utara, di Alaman Allogo, tempat yang dirancang khusus oleh pemiliknya, Baja Panggabean dan istrinya Sani Silalahi, sebagai tempat menumpahkan idealisme budaya dan konservasi alam melalui pertanian organik, Kelompok Sehati menunjukkan dengan sangat sempurna keterlibatan dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan itu.
Bersama Pusat Inkubasi Layanan Publik Berbasis Moderasi Beragama IAKN Tarutung, Baja Panggabean dan Sani Silalahi menjadikan terarium, seni menghias tanaman kecil dalam wadah, betul-betul menjadi wadah untuk menunjukkan praktek keberagaman itu.
Baja membawa ibu-ibu berkeliling ke taman di depan rumahnya. Dia menunjukkan beratus jenis tanaman. Dia memperkanalkan tanaman itu satu per satu. Dia menceritakan tentang fungsi jerami yang disengaja ditumpuknya di tanah yang tinggi. “Saat hujan, air dari jerami ini akan mengalir ke sekeliling. Air itu membawa unsur hara. Lama-kelamaan tanah ini akan menjadi subur,” ujar Baja. Dari taman itu pulalah semua bahan-bahan untuk terarium diambil.
Baja mengatakan, “Ramba-ramba (semak-semak) yang kita anggap tak memiliki fungsi, ternyata, menyimpan kekayaan tanaman. Di sana ada tanaman-tanaman kecil yang tidak pernah kita perhatikan selama ini. Tanaman kecil itu, bila dihias dengan baik akan mendatangkan nilai estetik dan nilai jual,” tambah Baja.
Betapa terlihat sederhana touring itu. Namun, kita kerap lupa: alam sekeliling kita, meski itu hanya ramba-ramba, mengandung keberagaman pada dirinya. Alam memang selalu tak ingkar dengan hakikat ciptaan, yakni kelestarian tidak akan pernah langgeng dengan ketunggalan jenis tumbuhan.
Mereka pun sudah duduk di depan wadah masing-masing. “Untuk tahap awal ini, kita menggunakan medium kaca,” ujar Sani. Batu, pasir, tanah, beragam kaktus, dan perlengkapan terarium sudah tersedia. “Kita berimajinasi melalui tanaman. Silakan berimajinasi,” ujar Sani. Dua puluh orang kemudian dibentuk ke dalam 10 kelompok. “Campurlah imajinasi dengan tema. Tentukan tema setiap wadah,” tambah Sani.
Tak ada kecanggungan tampak ketika dua orang setiap kelompok berdiskusi menemukan tema wadah terarium mereka. “Nggak. Itu tidak cocok,” terdengar mereka berdebat. “Kita buat tema pantai saja,” ujar yang lain. Tema itu ternyata dibantah teman sekelompoknya. “Iya, itu,” kata mereka yang sudah bersepakat. Mereka, memang, sudah saling kenal cukup lama. Bukankah mereka tinggal di kompleks yang sama untuk waktu yang lama? Bahkan ada yang semenjak bayi hingga sekarang mereka punya cucu?
Lantas, kalau sudah saling kenal cukup lama, kalau sudah saling bertemu sejak mereka lahir, sudah tidak saling menjadikan agama sebagai penghalang untuk berinteraksi, tepatkah membawa moderasi beragama ke mereka?
Di sanalah justru letak penjelasan itu berada. Di wadah terarium yang mereka buat itu tampak jawaban. “Warna-warna yang ada dalam miniatur kami ini menggambarkan Indonesia yang beragam suku dan agama,” ujar satu kelompok menjelaskan karyanya. Ia menunjukkan sususan batu-pasir-tanah di dalam wadah. Ia memperlihatkan bebatuan yang beragam warna dan ukuran. Ia menjelaskan tentang urut-urutan pasi-batuh-tanah itu. Ia menggambarkan pilihan kaktus mereka. Mereka kemudian tertawa karena hasil karya mereka mendatangkan tepuk tangan dan pujian dari semua peserta.
Tema yang mereka pilih menentukan tanaman pengisi wadah. Demikian juga tema akan memandu menyusun bebatuan dan pasir-tanah. “Walaupun kita kelompok kecil suatu saat kita akan menjadi kelompok besar kalau kita bisa mengedepankan moderasi beragama. Kita sama-sama ciptaan Tuhan. Semua sama,” ujar satu kelompok menjelaskan pilihan serbamini di wadah mereka. Begitu juga ketika kelompok lain menjulurkan karya mereka untuk dinilai, mereka menggambarkannya demikian: “Kita harus bertoleransi antara yang beda agama. Jangan ada pertengkaran dan perselisihan.” Bagaimana dengan pesan kelompok yang berikut: “Keberagaman itu seperti taman bunga. Keberagaman itu melahirkan keindahan”?
Dengan demikian, moderasi beragama harus dijadikan sebagai wadah peningat dan pencegah. Kebersamaan dalam merangkai tanaman mini di dalam wadah mengingatkan mereka bahwa praktek moderasi beragama mereka sudah seperti garam: begitu terasa dan melebur sempurna dalam kesatuan karsa. Dan dengan kesatuan karsa itu pulalah hal-hal yang berpotensi untuk merusak segalanya itu akan berperan sebagai pencegah yang paling hakiki. Praktek toleran yang sudah mendarah daging pada mereka adalah keterlibatan alami dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan. Itulah yang mereka tumpahkan dalam wadah terarium, wadah yang memancarkan pesan keberagaman.