Moderasi beragama di Kompleks Masjid Tarutung sudah dihidupi warganya begitu lama hingga mereka lupa kapan tepatnya praktek itu bermula di sana. Menghargai yang berbeda agama sudah menjadi bagian dari diri mereka sehingga hal itu tidak perlu diucapkan. Mereka hidup bertetangga. Mereka saling merayakan hari raya. Mereka saling memberi makanan. Mereka, bahkan, sudah saling mengejek. Mengejek seseorang dan seseorang itu tidak sakit hati adalah wujud paling alami dari penerimaan perbedaan itu.
Demikianlah. Dua puluh perempuan—sepuluh orang Kristen dan sepuluh orang Islam—dari Kompleks Masjid Tarutung berkumpul di Kampus I IAKN Tarutung pada 6 Juli 2023. Mereka berkumpul untuk berbagi pengalaman mereka tinggal di kawasan yang terletak di pinggir Aek Sigeaon, Tarutung, itu. Acara ini difasilitasi oleh Pusat Inkubasi Layanan Publik Berbasis Moderasi Beragama IAKN Tarutung di Kampus I IAKN Tarutung. Kegiatan ini bertajuk “Training of Trainers (ToT) Penguatan Moderasi Beragama”. Woro Wahyuningtyas, dari Paritas Institute, memfasilitasi kegiatan setengah hari itu. Kegiatan ini adalah satu rangkaian dari pembentukan Desa Moderasi Beragama IAKN Tarutung.
“Ibu-ibu yang ada di Kompleks Masjid ini sudah bisa disebut orang yang moderat karena sudah mempraktekkan moderasi beragama,” ujar Woro. Menurut Woro moderasi beragama itu diartikan sebagai cara beragama yang ada di tengah-tengah; nggak berlebih-lebihan ke kiri dan nggak berlebih-lebihan ke kanan. “Seseorang diharapkan tidak ekstrim dalam menjalankan ajaran agamanya,” ujarnya.
Berceritalah para perempuan itu.
Ita Hasibuan membongkar rumahnya untuk dibangun yang baru. Kayu-kayu yang tak bisa digunakan lagi tidaklah dibuang. Ia memanggil Labora Tampubolon, tetangganya yang Kristen, mengambil kayu itu. “Ini kayu untuk masak B2 (sebutan untuk babi)-mu,”ujar Ita. Ita tahu Labora membutuhkan kayu bakar untuk memasak makanan khas Batak itu.
Ita juga punya cerita menarik. “Saya berteman dengan Netti. Agamanya Kristen. Bila hari Natal atau Paskah, kami sering pergi jalan-jalan. Saya bilang ke Netti, ‘Udah, bergereja dulu kau baru kita jalan-jalan.’ Sebaliknya, Netti pun demikian. Dia juga selalu mengingatkan saya untuk sholat.”
“Ibu saya berjualan makanan,” ujar Sari Tanjung memulai ceritanya. Terkadang mereka kehabisan nasi untuk dijual. “On indahan. Alap tu son (Ini ada nasi, ambillah),” ujar tetangganya yang Kristen. Tetangga juga memberikan airnya secara gratis untuk digunakan warung Tanjung tersebut. “Dari sini saja air ambil. Belilah selang,” ujar tetangganya. Nasi sisa para pembeli lalu dikumpulkan. Setiap mau tutup, sisa nasi itu akan diberikan ke tetangga. “Untuk makanan babi,” ujar Sari Tanjung.
Demikian pun dengan Ibu Pardede. Ia paham bila tetangganya memakan makanan yang tidak bisa mereka makan. “Tetangga juga mengerti, kok. Mereka tahu mana makanan yang bisa kami makan mana yang tidak bisa dimakan. Kami saling tahu,” ujarnya. Saat hari raya Kristen tiba, mereka berkunjung ke rumah tetangga. “Kami membeli roti kaleng dan sirup,” ujarnya.
Martha Pangaribuan juga berkisah: “Saya bertetangga dengan orang Islam. Satu dinding. Awal bulan puasa, tetangga akan bilang, ‘Maaf ya kalau subuh-subuh sudah mengganggu, uda ribut aku masak untuk puasa.’” Namun, momen inilah yang justru ditunggu Martha. “Kakak itu pintar buat kue. Kakak itu selalu kasih kue.” Demikian juga bila tetangganya melakukan aktivitas keagaamaan. “Sudah lima tahun kami bertetangga. Kalau ada pengajian di rumah kakak itu, saya tidak merasa terganggu.” Demikian juga ketika tahun baru tiba. Martha selalu memesan kue dari tetangganya yang muslim.
“Bertetangga dengan muslim tidak seperti cerita orang yang mengatakan mereka tidak mau menyentuh makanan apa saja dari orang Kristen,” Magdauli Nainggolan bercerita. “Banyak jualan saya dibeli mereka. Ada kue, ada es. Nggak ada pernah dikomen apa-apa.” Magdauli bertetangga dengan orang Padang yang muslim. “Saya diajari mereka membuat sate,” ujarnya.
Cerita lucu dikisahkan oleh Sari Devi. Sari Devi menceritakan pengalamannya sewaktu jualan nasi di bagian belakang kompleks. Saat itu pembeli dari luar kota mendatangi warungnya. “Ibu muslim, ya? Tapi, kok ada babinya?” Ternyata dekat ia berjualan ada tetangganya yang beternak babi.
Kita pun harus memperhatikan dengan saksama cerita Ibu Tobing berikut. Ibu Tobing memiliki kos-kosan. Ia tidak pernah mempermasalahkan agama penghuni kos-kosan-nya. “Malah, sampai sekarang aku itu bingung. Ada saudaraku di Medan. Dia punya kos-kosan. Kalau kulihat di situ, bingung aku. Dibuat di situ, “Khusus untuk Muslim”. Wow… Kenapa musti ada di situ “Khusus untuk Muslim”? Saya bingung sampai sekarang. Tapi di sini, nggak pernah kami buat “Khusus untuk Kristen”,” ujarnya.
Woro Wahyuningtyas lalu menyinggung tentang tahun-tahun politik yang sudah menjelang. Ia menengarai perhelatan ini bisa mengubah kerukunan Kompleks Masjid yang sudah lama terbangun. “Karena itu harus tetap dijaga. Lebih percayalah ke tetangga dari orang luar karena kita sudah hidup bersama-sama. Orang yang datang dari luar boleh jadi membawa kepentingan mereka,” ujar Woro. Woro percaya perempuan lebih bisa menjaga relasi yang sudah lama dihidupi itu. “Toh, kalau tak punya garam, tak punya jahe, tak punya cabe, kita minta ke tetangga. Bukan ke orang luar,” ujar Woro. Bagi Woro bahasa garam itu adalah bahasa universal yang tidak mengandung sekat-sekat.
Moderasi Beragama atau Moderasi Agama?
Moderasi beragama bukanlah moderasi agama. “Kita harus ingat, moderasi beragama, bukan moderasi agama. Kalau moderasi agama itu yang dimoderasi adalah ajaran agamanya. Moderasi beragama yang dimoderasi adalah sikap kita beragama. Moderasi beragama bukan bertujuan memoderasi ajarannya. Ajaran itu adalah forum internum: ada dalam diri kita; tidak boleh siapa pun mengganggu itu. Tidak ada yang boleh menyalahkan itu. Karena itu tidak boleh mengkafirkan ajaran karena itu hak setiap orang untuk mempercayai ajaran yang dipercayainya,” ujar Woro. Bagi Woro, apa pun kepercayaannya harus kita hormati sejauh dia tidak melakukan tindakan kriminal; menghilangkan nilai kemanusiaan; dan tidak menciderai kesepakatan bersama.”
Melinda Siahaan, Ketua Pusat Inkubasi Layanan Publik Berbasis Moderasi Beragama IAKN Tarutung, menyampaikan, “Pelatihan ini mengajak peserta untuk saling mengenal agar tercipta rasa saling memiliki dan menyayangi. Ini menjadi modal sosial untuk menguatkan moderasi beragama di Kompleks Masjid Tarutung. Selain itu, pertemuan 20 perempuan warga dengan latar belakang agama Kristen dan Islam ini akan memperkuat relasi antaragama yang selama ini sudah terbangun.”
Sementara itu, Hanna Aritonang, Wakil Rektor III IAKN Tarutung, memberikan penjelasan yang mendasari kegiatan ini. “Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2020, yang didalamnya menghasilkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024 dalam bidang sumber daya manusia, salah satunya mengamanahkan moderasi beragama harus diimplementasikan di seluruh Indonesia. Turunan peraturan itu adalah seluruh satuan kerja di bawah Kementerian Agama, seperti institut agama Kristen negeri atau universitas Islam negeri di seluruh Indonesia, diwajibkan memiliki rumah moderasi beragama.”
Pada akhirnya, moderasi beragama yang menghasilkan orang-orang moderat bermuara pada hal pokok ini, yakni siapa pun yang berhubungan baik dengan Tuhan haruslah berhubungan baik dengan sesama.