Kita pasti pernah mendengar ungkapan “Anak-anak itu sangat ekspresif”. Atau mengenal kalimat ini: “Anak-anak tidak pandai berbohong”. Jika kita mendengar kalimat itu akankah kita mengangguk setuju? Tentu saja. Namun dua ungkapan ini dapat dipatahkan jika mendengar cerita anak-anak hari ini, Sabtu (15/10/2022), di HKBP Situmeang Habinsaran, Sipoholon, Tarutung. Beberapa dari mereka langsung terdiam saat mendengar pertanyaan, “Apakah kalian masih mengingat bagaimana perasaan kalian ketika gempa 1 Oktober lalu?” Mereka nyaris tak bisa berkata apa-apa ketika mendengar kalimat, “Ayo, coba ceritakan bagaimana perasaan kalian pada malam itu!” Mereka hanya melirik satu sama lain.
Beberapa saat kemudian tetap tidak ada yang ingin menceritakan perasaan yang mereka alami. Mereka kemudian tunjuk-menunjuk. “Kaulah duluan,” kata seorang dari mereka. Ternyata mereka sedang mengumpulkan keberanian menceritakan kisah mereka. Dan benar saja, setelah ditunjuk, mereka mulai berani bercerita. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak hanya menceritakan kisah yang mereka alami saja, namun kisah namboru, tetangga samping dan tetangga depan rumah pun mereka ceritakan. Mereka sudah terbuka. Mereka pun sudah siap merangkai kisah itu ke atas kertas.
Berbeda dengan teman-temannya, Wina Dania Situmeang sedari tadi diam membisu. Seakan-akan Ia tidak mendengarkan teman-temannya saat bercerita. Ia tampak tak berminat nimbrung dengan keseruan bertukar pengalaman. Apa yang Ia simpan dalam diamnya?
Beberapa menit kemudian Wina berhasil mencairkan kebekuannya. Teman-temannya mendengarkannya dengan khusyuk. Wina bercerita dengan terbata-bata seakan sedang menahan deru tangis yang kapan saja dapat memuntahkan air matanya. Ia mengedipkan mata, lalu berkata, “Kami sekeluarga terbangun tidak hanya karena gempa itu menggetarkan rumah kami, namun juga karena kami mendengar ada suara papan rumah kami yang di depan jatuh dan mendengar jeritan kakak saya yang tertimpa televisi di bahunya. Lalu kami sekeluarga pun langsung berlari keluar bersama. Saat kami sudah di luar rumah, kami melihat rumah kami roboh secara perlahan. Mamaku menangis. Ternyata, tidak hanya rumah kami yang rusak. Lapo (kedai) kami juga roboh. Lapo kami ada di bagian depan rumah kami.” Ia menceritakannya dengan intonasi yang bergetar. Dari ceritanya pun dapat dirasakan bagaimana hancur hatinya pada malam itu.
Cerita Wina adalah cerita anak-anak yang dibenturkan dengan pengalaman perdana menghadapi gempa. Tadi sore, setelah menceritakan kisah itu, Ia kembali diam. Ia memendam kesedihannya. Cerita itu terpendam dalam beberapa hari ini. Hari ini adalah hari pertama Ia berhasil mengisahkannya, di hadapan teman-temannya. (Debora Juniati Sihombing, Mahasiswa Sosiologi Agama, FISHK IAKN Tarutung)